43. Memahami Kondisi Orang Lain dan Menyesuaikan Dengan Akal Mereka
Hal ini merupakan bukti kecermatan orang dalam menilai dan mengatur urusan yang dihadapinya. Dan hal ini juga menunjukkan tentang baiknya sikap yang dia tempuh dalam memilih sarana kebaikan yang dia gunakan. Dengan sikap semacam ini maka seorang akan mudah menggapai keluhuran akhlak dan akan disenangi oleh orang lain. Manusia yang dihadapi itu beraneka ragam, oleh sebab itu masing-masing perlu disikapi dengan sikap yang tepat dan sesuai dengan kondisi orang yang bersangkutan. Tentu saja dengan batasan, selama hal itu tidak menyebabkan kebenaran dicampakkan dan kebatilan dipertahankan.
44. Menjaga Adab Berbicara dan Adab Majelis
Di antara adab yang harus diperhatikan adalah mendengarkan dengan baik ketika orang lain berbicara. Jangan memotong pembicaraannya sebelum selesai, langsung mendustakannya, atau meremehkannya, atau terburu-buru melengkapi ucapannya yang dianggap kurang sempurna. Selain itu hendaknya juga dijauhi membicarakan tentang diri sendiri dalam rangka membangga-banggakan dirinya di hadapan orang. Hendaknya juga tidak mudah-mudah melontarkan komentar terhadap pembicaraan orang lain. Atau memberikan celaan secara merata kepada setiap orang. Atau mengulang-ulang pembicaraan tanpa ada faktor yang menuntut hal itu harus dilakukan. Termasuk sikap yang harus dijauhi adalah bertanya berlebihan atau terlalu berdalam-dalam dalam menanyakan suatu perkara tanpa keperluan. Selain itu hendaknya berbicara dengan menyesuaikan kondisi atau konteks pembicaraan. Hendaknya bersikap rendah hati terhadap orang yang diajak bicara. Begitu pula hendaknya mengucapkan salam ketika masuk ke dalam majelis atau ketika meninggalkannya. Tidak menyuruh orang lain yang sedang duduk untuk berdiri kemudian dia duduk di tempat tersebut. Tidak duduk di antara dua orang yang berdekatan kecuali dengan izin keduanya. Dan adab-adab yang lainnya.
45. Menjaga Shalat
Memelihara shalat adalah sebab yang sangat agung untuk menggapai akhlak yang mulia, wajah yang berseri-seri dan jiwa yang tenang serta akan menjauhkan dari sifat-sifat rendah dan hina. Sebagaimana shalat juga dapat menghalangi pelakunya dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Dengan melakukan shalat secara benar maka akhlak yang buruk akan dapat dikendalikan. Shalat akan dapat menyembuhkan penyakit-penyakit hati semacam: pelit, dengki, suka mengeluh dan mencela, dan lain sebagainya.
46. Berpuasa
Melakukan puasa akan menyucikan jiwa. Puasa akan memperbaiki perilaku. Puasa akan menumbuhkan berbagai akhlak yang mulia dan terpuji semacam: penyayang, dermawan, suka berbuat baik, menyambung persaudaraan, bermuka ramah, dan lain sebagainya. Puasa akan meningkatkan cita-cita di dalam hati dan mengokohkan tekad serta mewujudkan ketenteraman. Puasa merupakan ajang untuk melatih diri menanggung sesuatu yang tidak disenangi oleh nafsu. Sebuah media untuk memanajemen diri. Puasa juga akan menggerakkan diri menuju kebaikan dan mengekang pelakunya dari perbuatan buruk.
47. Membaca Al-Qur’an Dengan Merenungkan Isinya
Al-Qur’an mengandung petunjuk dan cahaya. Ia merupakan pedoman akhlak yang paling utama. Ia akan menuntun kepada kebenaran dan kebaikan. Kemuliaan akhlak merupakan bagian dari kebaikan yang ditunjukkan oleh al-Qur’an. Bahkan di dalamnya terdapat ayat yang merangkum berbagai macam akhlak yang mulia yaitu firman-Nya yang artinya, “Jadilah pemaaf, perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raaf: 199). Al-Qur’an akan mendorong jiwa manusia untuk memiliki berbagai sifat kesempurnaan dan mengisinya dengan cita-cita yang agung.
48. Menyucikan Jiwa Dengan Melakukan Ketaatan
Menyucikan jiwa dengan senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah adalah sarana terbesar untuk meraih akhlak yang mulia. Allah berfirman yang artinya, “Sungguh beruntung orang-orang yang membersihkan jiwanya.” (QS. Asy-Syams: 9).
49. Senantiasa Menyimpan Rasa Malu
Rasa malu akan menjaga diri agar tidak melakukan perbuatan buruk dan mendorongnya untuk senantiasa melakukan kebaikan. Apabila seseorang menghiasi diri dengan sifat ini maka dia akan terpacu untuk meraih keutamaan-keutamaan dan terhambat dari perbuatan-perbuatan yang rendah dan hina. Rasa malu akan senantiasa melahirkan kebaikan. Ia merupakan bagian penting dari keimanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu tidaklah memunculkan kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga menyatakan, “Rasa malu adalah cabang keimanan.” (HR. Ibnu Majah). Beliau juga bersabda, “Salah satu ucapan pertama kali yang diperoleh manusia dari ajaran para nabi terdahulu adalah jika kamu tidak malu berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
muslim.or.id Selengkapnya...