Pempek, sebagai penganan, sudah sangat popular. Di Palembang, pempek pun biasa dijadikan makanan pokok. Namun di luar kota yang dibelah sungai Musi itu, pempek lebih dikenal sebagai cemilan atau sekedar snack. Bagi peminat produk olahan ikan ini. walaupun cuaca panas terik pun tetap terasa nikmat dan gurih. Apalagi kalau diolah dengan ikan belida, gabus, atau tenggiri yang segar (bukan bekuan), maka akan sangat terasa kelezatannya. Rasanya tak lengkap jika sedang berkunjung ke Palembang, tak membawa pempek sebagai buah tangan.
Tapi buat anda yang ingin menikmati pempek Palembang , jangan khawatir. Tanpa perlu ke Palembang, anda pun bisa menikmati beberapa restoran atau warung di sekitar tempat tinggal. Termasuk bagi anda yang tinggal di sekitar Jabodetabek. Salah satu restoran Pempek Palembang, yang mulai merambah ke luar Sumatera Selatan termasuk Jabodetabek adalah “Pak Raden”. Di kota Palembang, Pak Raden termasuk restoran pempek yang awal berdirinya dan punya konsumen tersendiri.
Restoran pempek yang berdiri sejak tahun 1980-an ini awalnya memang berasal dari Palembang. Namun seiring dengan perkembangannya, pempek Pak Raden ini kemudian membuka cabang di Jakarta pada tahun 2000, tepatnya di daerah sekitar Pasar Minggu. “Banyak konsumen kami yang sebagian besar orang Jakarta kesulitan memperoleh produk kami, karena lokasi kami yang hanya ada di Palembang. Oleh karena itu kami kemudian membuka cabang di Jakarta ini untuk memudahkan konsumen kami menikmati pempek,” ujar Iwan Rifai, pengelola pempek Pak Raden .
Menurutnya yang membedakan pempek Pak Raden dengan pempek yang lain adalah penggunaan bahan baku ikan. “Berbeda dengan pempek lainnya, kami menggunakan ikan air tawar sebagai bahan baku utamanya, yakni ikan gabus. Ikan gabus digunakan agar rasa dan aroma khas pempek tidak berbau amis seperti kebanyakan pempek lainnya,” ujarnya.
Proses pembuatan pempeknya sendiri tidak ada perbedaan dengan pempak lainnya, yakni dengan menggiling ikan dan mencampurnya dengan tepung serta bumbu lainnya. “Jangan lupa racikan air cuka untuk bumbu pempek, sebab inilah salah satu poin penting dalam hal rasa,” ujarnya.
Banyak sekali menu yang ditawarkan oleh pempek Pak Raden ini, mulai dari pempek kapal selam,pempek telur, lenjer, kulit, pempek keriting, pempek pistel (isi tumisan pepaya), hingga yang berkuah seperti model (dengan isi tahu) dan tekwan. Selagi menunggu pesanan datang anda bisa menikmati otak-otak ikan, kue srikaya dan kemplang (krupuk) khas Palembang.
Berbeda dengan pempek lainnya, saat disantap, pempek Pak Raden terasa “ringan” dan pas dilidah. Tidak amis dan sangat lezat. Apalagi saat irisan ketimun dan bubuk udang rebon bercampur dengan segarnya kuah cuka yang disiram diatas pempek, aduhai nikmatnya. Bagi yang ingin mencoba semua pempek, ada menu gabungan yang disebut pempek campur. Semua pempek yang ada didalam daftar menu bisa kita nikmati dengan porsi yang sesuai dengan perut kita.
Untuk menu minuman jangan khawatir, pempek Pak Raden juga menyediakan aneka ragam minuman mulai dari teh manis, softdrink hingga aneka jus buah-buahan. Es Kacang Merah nan manis menjadi menu jagoan yang paling banyak dipilih orang untuk menemani sajian pempek yang disajikan.
Halal Menjadi Prioritas
Pempek terbuat dari bahan baku ikan yang sudah jelas kehalalannya. Namun bagaimana dengan bumbu yang lainnya?. Iwan Rifai sang pemilik mengaku, sebagai seorang muslim sudah sepatutnya mengkonsumsi makanan halal. “Oleh karena itu kami sengaja mensertifikasi pempek kami untuk menciptakan rasa aman dan nyaman konsumen atas kehalalan pempek yang dimakannya. Toh kita tidak tahu bagaimana bahan-bahan lain diluar ikan tadi, seperti tepung, aneka bumbu dan bahan minuman yang lainnya,” paparnya.
Ia memaparkan lebih lanjut, pempek Pak Raden berkembang karena menjaga mutu. Salah satu aspek mutu yang menjadi prioritas kami adalah halal. “Saat ini kami berusaha menjaga konsistensi kehalalan produk yang dihasilkan, melalui manajemen pengawasan halal yang disebut Sistem Jaminan Halal. Kami tidak ingin status kehalalan produk kami hanya sebatas ketika mendapatkan sertifikat halal saja. ( Tidak hanya) selesai sampai di situ, tapi seterusnya,” urainya lagi.
“Dari beberapa cabang pempek Pak Raden saat ini kami baru mensertifikasi 3 gerai kami, yakni yang berada di Jalan Serpong Raya, Fatmawati dan Radio Dalam. Dalam waktu dekat kami sudah merencanakan sertifikasi halal untuk cabang kami yang lain,” sahutnya.
Nah, bagi yang ingin mencicipi pempek nan lezat dan halal jangan lupa untuk mampir dan mengunjungi pempek Pak Radeng. Dijamin bakal penasaran untuk ikut mencoba semua menu yang disajikan. Jangan takut kantong jebol, sebab harga yang ditawarkan pun ekonomis, yakni mulai dari 4 ribu hingga 12 ribu Rupiah saja. Selamat mencoba.
Alamat Pempek Pak Raden:
· Jln. Raya Serpong Raya No. 68 BSD – Tangerang
· Jln. Raya R.S. Fatmawati No. 4b Cilandak – Jakarta Selatan
· Jln. Raya Radio Dalam No. 86D – Jakarta Selatan
· Jln. Raya Pasar Minggu km 18 No. 28 Pejaten Timur Jakarta Selatan
· Jln. Pesanggrahan Raya No. 10C Puri Indah Jakarta Barat
· Jln. Alternatif Cibubur Km 1,5 No. 3-4 Cibubur
· Jln. Bintaro Utama Raya Blok 04 No. 6 Sektor 1 Bintaro
. Jln. Cinere Raya No. 99A Cinere
sumber: halalmui.org
Selengkapnya...
Minggu, 29 Agustus 2010
Pempek Pak Raden
Mengenal Lebih Dekat Gelatin
Di Indonesia, gelatin masih merupakan barang impor, negera pengimpor utama adalah Eropa dan Amerika. Menurut data BPS 1997, secara umum terjadi pemanfaatan dalam industri pangan dan farmasi. Dalam industri farmasi, gelatin digunakan sebagai bahan pembuat kapsul. Dalam industri pangan, gelatin pun sekarang marak digunakan.
Gelatin adalah produk alami yang diperoleh dari hidrolisis parsial kolagen. Gelatin merupakan protien yang larut yang bisa bersifat sebagai gelling agent (bahan pembuat gel) atau sebagai non gelling agent. Sumber bahan baku gelatin dapat berasal dari sapi (tulang dan kulit jangat), babi (hanya (kulit) dan ikan (kulit). Karena gelatin merupakan produk alami, maka diklasifikasikan sebagai bahan bangan bukan bahan tambahan pangan.
Menurut data dari SKW Biosystem suatu perusahaan gelatin multinasional bahwa produk gelatin dunia pada tahun 1999 sebanyak 254.000 ton terdiri dari sumber kulit jangat sapi sebanyak 28.7 %, kulit babi sebanyak 41.4% serta kontribusi tulang sapi sebesar 29.8 %, dan sisanya dari ikan.
Gelatin komersial yang ada di pasaran dikategorikan sebagai gelatin tipe A dan tipe B. pengelompokan ini berdasarkan jenis prosesnya, yaitu proses perendaman asam dan basa. Proses perendaman asam menghasilkan gelatin tipe A dan perendaman basa menghasilkan gelatin tipe B. gelatin tipe A umumnya berasal dari kulit babi yang memiliki titik isoelektrik (titik pengendapan protein) pada PH yang lebih tinggi (7.5 – 9.0) dari PH isoelektrik gelatin tipe b (4.8 – 5.0). Sedangkan gelatin tipe B biasanya bersumber dari kulit jangat sapi dan tulang sapi. Sedangkan gelatin ikan dikategorikan sebagai gelatin tipe A. dalam perkembangannya, proses pembuatan gelatin yang berasal dari tulang dapat dilakukan juga dengan menggunakan cara asam yang lebih sederhana yang akhirnya juga menggeser PH isoelektrik pada sekitar 5.5 – 6.0.
Secara ekonomis, proses asam lebih disukai dibandingkan dengan proses basa. Hal ini karena peresndaman yang dilakukan dalam proses asa relatif lebih singkat yaitu (3-4 minggu) dibanding dengan proses basa (sekitar 3 bulan).
Setelah mengalami perendaman bahan dinetralkan untuk kemudian diekstraksi dan dipekatkan (evaporasi). Bahan yang telah mengalami pemekatan dikeringkan untuk kemudian mengalami proses penggilingan tau penghancuran menjadi partikel yang lebih kecil atau sesuai dengan standar tertentu.
PEMANFAATAN GELATIN
Dari daata SKW biosystem, penggunaan gelatin dalam industri non pangan sejumlah 100.000 metrics ton digunakan pada industri pembuatan film foto sebanyak 27.000 ton, untuk kapsul lunak sebanyak 22.600 ton, untuk produksi cangakang capsul (hadr capsul) sebanyak 20.200 ton serta dalam dunia farmasi dan teknis sebanyak 12.000 ton dan 6.000 ton.
Penggunaan gelatin dalam industri pangan masih menurut sumber di atas adalah sebesar 154.000 metrics ton, dimana penggunaan terbesar adalah industri konfeksioneri yaitu sebesar 68.000 ton selanjutnya untuk produk jelli sebanyak 36.000 ton. Untuk industri daging dan susu memiliki jumlah penggunaan gelatin yang sama yaitu sebesar 16.000 tom dan untuk kelompok produk low fat (semisal margarin) dan makanan fungsional (food supplement) memeliki kontribusi penggunaan gelatin yang sama yaitu sebesar 4.000 ton.
Aplikasi sejumlah gelatin (254.000 metrics ton, 1999) pada industri pangan (60%) dan non pangan (40%), dikontribusikan oleh gelain yang bersumber dari babi sebanyak 40% dan sapi (termasuk tulang dan kulit) sebesar 60%. Pada industri pangan jumlah penggunaan gelatin yang disumbangkan oleh babi sebesar 27% dan dari sapi sebesar 33%. Sedangkan untuk industri farmasi yang menggunakan gelatin yang berasal dari babi sebesar 7% dan yang berasl dari sapi sebesar 12%.
Jika ditinjau dari selisish persentase kontribusi gealtin sapi dan babi dalam industri pangan maupun farmasi persentase tersebut bukan merupakan selisih yang cukup besar dibandingkan dengan presentase konsumen muslim yang hanya boleh menggunakan gelatin yang bersumber dari sapi.
GELATIN DAN ALTERNATIFNYA
Gelatin disebut miracle food. Hal ini disebabkan karena gelatin memiliki fungsi yang masih sulit digantikan dalam industri pangan maupun obat-obatan. Salah satu keunggulan yang paling terkenal adalah bisa memiliki sifat melting in the mouth. Ini sifat yang paling disukai oleh hampir semua pengusaha industri pangan.
Namun demikian, tidak berarti gelatin sama sekali tidak bisa digantikan dalam industri pangan maupun farmasi. Penggunaan hidrokoloid yang bersumber dari tanaman sudah banyak dikembangkan dalam rangka menggantikan peran gelatin. Sungguhpun sejauh ini hasilnya tidak sesempurna gelatin, tapi sudah cukup memadai. Misalnya ada sebuah perusahaan permen chewy yang dulunya menggunakan gelatin, sekarang telah mendapat sertifikat Halal MUI setelah menggantikan gelatin dengan beberapa sumber hidrokoloid. Jadi, walaupun hasil akhirnya tidak mirip, peran gelatin dapat digantikan dengan mengkombinasikan beberapa sumber hidrokoloid. Dan penggunaannya bersifat aman dalam konteks kehalalan karena bersumber dari tanaman. Selain itu alternatif lain yang saat ini masih terus dikembangkan adalah gelatin yang bersumber dari ikan.
Sumber : Jurnal Halal LP POM MUI
Selengkapnya...
Ibunya Para Mualaf
Sejatinya, anak Hj Vera Pangka hasil pernikahannya dengan HM Syarif Tanudjaja SH, Ketua DPW Persatuan Iman tauhid Indonesia (atau Persatuan Islam Tionghoa Indonesia/PITI) DKI Jakarta, hanyalah tiga orang: Adrian Amar (31), Kelvin Ikhwan (29) dan Andrew Irfan (16). Itu pun sang sulung, Adrian Amar, tahun lalu meninggal dunia dalam usia 31 tahun karena penyakit kanker. Namun, di mata wanita kelahiran 18 Juni 1950 ini, anaknya tak terhitung jumlahnya.
''Alhamdulillah, mereka dekat sama saya,” ujarnya. “Mereka” yang dimaksud Vera adalah para muallafah, alias para perempuan yang memutuskan masuk Islam atas kesadaran sendiri. “Saya sudah seperti orang tua mereka.”
Menurut Vera, perjuangan anak-anaknya itu untuk masuk Islam bukanlah hal yang gampang. Umumnya, setelah bersyahadat, mereka dijauhi keluarganya, bahkan “dibuang”. “Jadilah, saya penggantinya,'' ungkap Vera kepada Republika di sela-sela pengukuhan pengurus DPW PITI DKI Jakarta di Jakarta Ahad (9/11).
Sebagai orang tua, tentu saja, wanita yang memiliki nama asli Goey Kiok Lan ini tak sekadar menjadi pendamping rohani bagi para muallafah yang baru memasuki agama Islam. Vera juga sering menjadi tempat curhat bahkan "mak comblang" bagi putri-putrinya tersebut. "Desember 2008 mendatang, jadwal saya sudah padat untuk mendampingi mereka menikah," katanya, tersenyum.
Perjalanan keimanan Vera tidaklah mulus. Ia bersyahadat tahun 1986. Ia enggan menceritakan detilnya, namun intinya, banyak tantangan ketika seseorang, apalagi Tionghoa, memutuskan untuk menjadi mualaf. “Saya sembunyi-sembunyi dari keluarga ketika memutuskan menjadi seorang Muslim,” kenang Vera.
Berdasar pengalaman pribadinya itu, ia lebih gampang memahami perasaan anak-anak asuhnya. “Sangat berat ketika kita harus berhadapan dengan keluarga, berhadapan dengan lingkungan kita. Ada pertarungan batin,” ujarnya.
Karenanya, sebagai orang yang pernah mengalami, tugasnya adalah menjadi pendamping. “ Muallaf-muallaf yang sudah lama mem-backing-i mereka yang baru. Minimal, menjadi teman curhat,” ujarnya.
Ia sendiri banyak mendapatkan pengalaman karena mendampingi sang suami. Kalau dia perempuan, katanya, masalahnya lebih kompleks lagi, lebih berat lagi. ''Karena yang perempuan ini berat untuk berbenturan dengan keluarga, sehingga dia 'bergerilya' masuk Islamnya,” jelas perempuan yang kini aktif di Kelompok Pengajian Mustika ini.
Salah satu nasihat yang sering diberikan pada anak-anaknya adalah: perbanyaklah berdzikir. Nasihat itu dulu sering diucapkan suaminya ketika hatinya tengah gulana memikirkan penolakan keluarganya. Meski orang tuanya tinggal di luar negeri yang berpandangan liberal, namun kabar sang anak yang membelot masuk Islam tetap saja membuat kalang kabut keluarganya.
Ketika masuk Islam, Vera sudah punya anak. Bahkan anak sulungnya, almarhum Adrian Amar yang selalu mendorongnya untuk segera memeluk Islam. ''Mama, masuklah Islam. Nanti mama sendirian,” ia menirukan omongan almarhum anaknya.
Sang suami memang sudah berislam. Sang anak mengikuti agama papanya. ''Terus terang, ini cita-cita anak saya, agar saya bisa aktif berjuang bersama papanya membela Islam. Kata dia suatu hari, Islam harus berjaya di Indonesia,” tambahnya.
Yang paling shock mendengar kabar ia berpindah agama adalah sang mama. Tak puas berdialog melalui telepon, mamanya memutuskan untuk datang ke Jakarta menemuinya. "Saya deg-degan. ''Apa ini? Saya harus bagaimana ini? Saya tahu ibu saya sifatnya keras," ia kembali mengenang.
Hari-hari menjelang kedatangan sang mama, ia lebih kencang berdzikir. Ketika akhirnya bertemu, Vera mengaku pertolongan Allah SWT datang. ''Sepanjang pertemuan saya zikir. Ibu saya lembut sekali ngomong-nya. Juga ketika saya bilang, 'Mami boleh minta apa saja sama saya. Cuma satu permintaan saya, jangan suruh saya pindah ke agama lama'.''
Ia sangat lega hati ketika suatu hari sang mama mengomentari agama barunya. "Pilihan kamu tidak salah," ia menirukan ungkapan wanita yang melahirkannya itu.
Ketika pertama kali dia ber-Ramadhan bersama keluarga, sang mama hadir menyaksikan. “Anak saya bilang, 'Oma sama Opa lihat kami Tarawih', lalu saya meminta maaf atas nama keluarga. Dia bilang, 'Oma maafin mama saya, ikhlaskan anak Oma masuk Islam'.''
Lalu, inilah hal yang tak diduganya. Pertama kalinya Vera menyaksikan sang mama menangis. “Oma ikhlas mama kamu masuk Islam,” ujar wanita itu kemudian. Kini giliran Vera bersimbah air mata. dam
Vera Panka
Nama Asli: Goey Kiok Lan
Tanggal lahir : 8 Juni 1950
Suami : HM Syarif Tanudjaja SH
Anak : Adrian Amar Tanudjaja (31) almarhum
Kelvin Ikhwan Tanudjaja (29)
Andrew Irfan Tanudjaja (16)
Nama Ibu : Caroline Djuanda
Nama Ayah : John Siemon Pangka
Rumah
Bp. HM. Syarif S. Tanudjaja
Jl. Tegalan III No. 15, Tegalan, Matraman (Depan Toko Buku Gramedia)
Jakarta Timur
sumber: mualaf.com
Selengkapnya...
Tuhan Sesungguhnya Hanya Dalam Islam
Setelah diskusi berlangsung beberapa kali, pendeta tersebut minta maaf karena tidak bisa melanjutkan diskusi lagi karena akan pergi ke luar negeri selama beberapa waktu. Beliau merekomendasikan dua orang pendeta untuk menggantikan posisi beliau selama beliau tidak ada. Pendeta pertama adalah seorang yang dulunya beragama Islam namun keluar (murtad) dari agama Islam dan menjadi pendeta. Saat kami mendatangi rumah pendeta ini, dari pembicaraan dengannya terkesan bahwa beliau menolak dan menghindar dengan alasan yang tidak jelas. Pendeta kedua adalah seorang doktor teologia ahli perbandingan agama dan memiliki kedudukan yang cukup tinggi di sebuah universitas. Karena kesibukan dan kedudukan beliau inilah, kami agak kesulitan menemui beliau. Ketika akhirnya kami berhasil menemuinya, ternyata beliau keberatan dan tidak bersedia berdiskusi bersama kami dengan alasan sibuk. Pendeta kedua ini menyarankan agar kami kembali berdiskusi dengan pendeta X.
Karena proses diskusi ini (yang tadinya aku berharap begitu banyak para pendeta ini dapat memberi pelajaran pada A) ternyata sedikit terhambat, akhirnya aku mendatangi pendeta X seorang diri. Aku menceritakan semua hal berkenaan dengan latar belakang diskusi ini dan aku memohon kepada beliau untuk membantuku meneruskan proses diskusi dengan A. Sayangnya… ternyata beliau menolak permintaanku dengan alasan yang tidak jelas –bahkan bisa dikatakan tanpa alasan-. Sebagaimana harapan besar lainnya – yang jika tertumpu pada seseorang namun ternyata tidak dipenuhi oleh orang tersebut-, maka kekecewaan yang besar pun kurasakan waktu itu. Ketika aku pamit pulang, pendeta tersebut masih sempat berpesan kepadaku,
“Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu menikah dengan dia (A). Kalau dia tidak mau masuk agama Kristen, pertahankan imanmu (iman Kristen).”
Gundah, bingung, sedih, dan kekecewaan yang menumpuk, semua bergumul menjadi satu setelah mendapat berbagai penolakan dari pihak-pihak yang aku harapkan dapat membantuku memberi penjelasan tentang agama Kristen ini kepada A. Bahkan pihak-pihak ini adalah orang yang kuanggap pakar dan ahli sehingga dapat membantuku menjawab dan menjelaskan tentang agama Kristen kepada A. Aku pun merasakan sesuatu yang janggal dari pesan terakhir dari pendeta X. Aku simpulkan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki argumen dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan aku merasakan bahwa ada sesuatu yang kurang dari agama ini (Kristen).
Sejak itulah, aku berusaha melihat dan menilai Islam dan Kristen sebagai dua agama yang sejajar kedudukannya, dan aku berusaha berada pada posisi netral seakan-akan sedang menjadi juri untuk keduanya. Berat dan tertekan. Itu yang aku rasakan ketika harus bergumul dan berusaha keras untuk melepaskan diri dari doktrin Kristen. Doktrin yang telah aku cintai sejak kecil dan telah kuikat secara sungguh-sungguh. Namun, dari sinilah aku mulai membuka diri dengan selain Kristen. Aku baru bisa mulai mempelajari seperti apa Islam sebenarnya. Kesan pertama yang kudapatkan dalam penilaianku adalah, ‘Apa yang jelek dari Islam? Kelihatannya ajarannya ok ok saja.’ Sambil melakukan ini, aku tetap terus membaca Alkitab Kristen.
Suatu ketika, A mengajukan suatu ayat dalam Alkitab yang mengatakan,”Jangan sampai kita sudah setiap hari menyeru ‘Tuhan-Tuhan,’ tetapi tidak selamat seperti yang tertulis dalam Injil.”
Kata-kata ini terpatri dalam benakku. Malam harinya, aku mencari ayat itu dalam Alkitab dan menemukannya, yaitu pada Matius 7:21, yang isinya, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-ku yang di sorga.”
Aku termenung seakan-akan tak percaya yang aku baca. Perlahan-lahan ‘ku tutup Alkitab yang sedang kubaca tersebut.
Keesokan harinya dan hari-hari sesudahnya terasa seperti hari penuh perenungan untuk pikiran dan benakku. Walaupun aku (berusaha) beraktifitas seperti biasa, namun pikiranku tidak tenang memikirkan ayat tersebut. Untuk meyakinkan diriku, ‘ku baca kembali ayat tersebut berulang-ulang, namun ternyata aku justru menjadi ketakutan setelah memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Sepertinya ayat ini sangat berkaitan dengan apa yang telah aku lakukan selama ini, dan aku takut ternyata aku termasuk yang pada akhirnya tidak masuk surga. Jangan-jangan apa yang kulakukan selama ini walaupun dengan kecintaan dan kesungguhan dan penuh perjuangan adalah hal sia-sia.
Sejak itu, aku mulai tertarik dengan Islam dan menjadikannya alternatif pengganti agamaku. Aku mulai bekerja di luar kota Yogyakarta di sebuah Puskesmas di Banjarnegara. Sendirian… tanpa sanak saudara ataupun teman dekat dan sahabat yang dapat kuajak diskusi tentang Islam. Aku belajar tentang Islam dari pengajian-pengajian masjid di desa yang terdengar dari pengeras suara atau acara desa dan kecamatan yang biasanya terdapat sentilan tentang ajaran Islam. Dan tentu saja tak ketinggalan, aku belajar dari diskusi yang sangat sangat banyak dengan A.
Sampai pada akhirnya, A menawarkanku untuk masuk Islam, dan akupun menyetujuinya walaupun tidak langsung melaksanakannya. Aku masih terus berdiskusi, belajar dan berpikir sehingga aku benar-benar merasa yakin dan mantap untuk memeluk agama Islam. Dan ketika keyakinan ini bertambah kuat, aku merasa ada kebutuhan mendesak yang harus kulakukan, yaitu aktifitas menyembah Allah. Rasanya keyakinanku akan sia-sia dan terasa hampa jika tidak ada aktifitas ibadah yang harus aku lakukan untuk menyembah Allah. Namun, aku sama sekali belum bisa cara beribadah yang ada pada Islam.
Dengan melihat orang sholat di televisi dan memperhatikan teman sholat, akhirnya aku berusaha meniru gerakan sholat. Tentu saja segala sesuatunya masih kacau saat itu. Dengan hanya memakai piyama tidur (tanpa tahu ada aturan harus menutup seluruh aurat saat shalat) menggelar selimut untuk dijadikan sajadah, dan berdiri tidak mengetahui harus menghadap kemana, aku sholat. Ya! Aku sholat! Hanya dengan tiga kalimat yang aku ketahui, bismillahirrahmanirrahim, allahu akbar, dan alhamdulillah dan dengan gerakan yang tanpa urutan dan aturan. Rasanya melegakan karena aku melepaskan keinginan untuk menyembah satu Ilah dan hanya Ilah inilah yang harus aku sembah. Aku lakukan ini berkali-kali tanpa diketahui oleh siapapun. Aku masih belum mengetahui tentang pembagian sholat yang lima waktu. Aku masih sendirian saat itu, menjadi kepala Puskesmas, dan aku pun masih merahasiakan statusku dari siapapun termasuk staf di kantor bahkan Si A tidak tahu kalau aku melakukan sholat karena aku masih malu, takut dan masih menutup diri. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengajariku.
Sampailah waktunya…
Aku dan A memberanikan diri datang kepada orangtuaku. Di situ, A mengutarakan keinginanku untuk memeluk agama Islam kepada orangtuaku. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Kekagetan luar biasa, marah, tidak percaya mengelegak keluar. Orangtua memintaku mengutarakan sendiri hal tersebut, dan aku pun mengatakan hal yang sama, “Aku ingin masuk Islam.” Mereka tetap tidak percaya dan memintaku memikirkannya kembali. Aku kembali ke Banjarnegara dan A juga kembali ke Jakarta tempat ia bekerja.
Beberapa waktu kemudian, Bapak, Ibu dan adikku menemuiku di Banjarnegara. Menanyakan kembali keputusan akhirku. Saat itu, aku meminta A menemaniku, karena aku dalam kondisi sangat takut dan kalut. Jawabanku pun tetap sama, “Aku ingin masuk Islam.”
Betapa orangtuaku marah mendengarnya. Sebuah kemarahan yang aku belum pernah menyaksikan sebelumnya. Ibu berkata, “APA KAMU SANGGUP MENGHIANATI YESUS!!! TEGANYA ENGKAU DENGAN YESUS!!!”
Rasanya hatiku teriris mendengar teriakan marah dan kekecewaan yang luar biasa dari kedua orangtuaku tersebut. Aku pun memahami jika akan seperti ini, karena seluruh keluarga besar beragama Kristen dan hampir seluruhnya adalah aktivis-aktivis gereja, sering berkhotbah di gereja. Tidak ada satupun yang beragama lain. Dan… aku yang diperkirakan juga akan mengabdi dengan sesungguhnya pada agama Kristen ternyata menjadi orang pertama yang masuk ke agama Islam. Tentu ini hal yang sangat berat terutama untuk kedua orangtuaku. Anggapan-anggapan negatif baik dari pihak keluarga, jemaat gereja, keluarga besar lainnya tentu akan datang bertubi-tubi menekan mereka. Dengan keputusanku yang tidak berubah ini, akhirnya hubunganku dengan keluarga menjadi agak renggang.
Derai air mata sejak itu masih terus mengalir. Aku sempat ragu ketika mengingat perkataan ibuku,
“Sanggupkah engkau mengkhianati Yesus.”
“Tegakah pada Tuhan Yesus.”
Pikiranku terus berkecamuk, ‘Benarkah itu? Benarkah aku harus menyembah Yesus? Benarkah jika aku memeluk Islam, Yesus akan marah?’ Berkutat pada kebimbangan antara perkataan orangtuaku dan apa yang telah kupelajari dalam Islam. Dalam puncak kebingunganku, aku bermimpi…
Aku hendak pergi tidur. Tiba-tiba… terdengar ketukan dari jendela kayu yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Kubuka jendela tersebut dan aku kaget karena ternyata di depanku ada sesosok Yesus (wajahnya memang tidak jelas, namun berjubah dan dalam mimpi itu aku dipahamkan bahwa itu adalah Yesus). Sosok itu tidak berbicara apa-apa namun tampak seperti tersenyum, tidak marah dan mengulurkan tangannya (seperti) hendak menyalamiku. Sosok tersebut tidak berbicara namun aku dipahamkan bahwa maksud beliau adalah mengucapkan selamat kepadaku. Setelah itu sosok tersebut berlalu.
Aku pun terbangun dalam keadaan bingung dan takut. ‘Apa maksud mimpi ini?’ pikirku. Apakah ini suatu tanda bahwa pilihanku benar.
Waktupun berlalu dan aku semakin mengokohkan keputusanku untuk memeluk agama Islam. A yang hampir selalu hadir dalam perjalananku menggapai hidayah Islam ini akhirnya melamarku. Alhamdulillah…akhirnya orangtuaku pun mengizinkan kami menikah. Hubungan kami dengan keluargaku sudah baik kembali sampai saat ini. Kami menikah dengan wali dari KUA. Rasa haru dan bahagia menyelimutiku saat itu. Setelah menikah, aku langsung minta dibelikan mukena dan minta diajarkan shalat. Dan A terus mendampingiku dan mengajarkanku shalat lima waktu. Sampai aku telah dapat melakukan shalat sendiri, A baru bisa menjalankan kewajibannya untuk shalat di masjid.
Perjalananku dalam memahami Islam tentu saja tidak berhenti sampai di situ. Setelah lima tahun sejak aku masuk ke dalam agama Islam, aku melanjutkan studi S2 di FK UGM, jurusan Ilmu Kedokteran Dasar dan Biomedis (minat Histologi dan Biologi Sel) dan aku seperti tersentak untuk kedua kalinya. Aku baru menyadari dan memahami betapa Allah mengatur segala sistem dalam tubuh kita dengan begitu rapi, canggih, teratur, beralasan dan sempurna sampai ke tahap molekuler, tanpa kita sadari. Aku banyak termenung saat menyadari hal itu, namun juga menjadikanku banyak bertanya kepada dosen pakar saat itu. Subhanallah, Dia-lah pencipta, pengatur, pemelihara yang sedemikian rupa rumitnya. Dan tidak mungkin semua itu berjalan, berproses dan bermekanisme dengan sendirinya. Mulai saat itulah aku lebih terpacu lagi untuk belajar dengan membaca dan memahami Al-Qur’an.
Dan proses belajar itu terus berlangsung sampai sekarang. Dahulu aku telah mengetahui bahwa Allah-lah, Ilah yang disembah dalam agama Islam. Namun, perlu waktu bertahun-tahun untuk aku memahami bahwa hanya Allah-lah Ilah yang BERHAK untuk disembah. Dan pemahaman ini ternyata suatu perkembangan, semakin kita belajar mengenal Rabb kita, insya Allah semakin bertambahlah pemahaman dan ketauhidan kita, dan akan semakin sadar bahwa masih banyak sekali hal yang tidak kita ketahui. Dari proses pembelajaran inilah aku semakin memahami siapakah Allah yang selama ini aku sembah, mengapa hanya Allah yang harus aku sembah. Kini aku sedikit lebih paham (karena masih banyak hal yang belum aku pahami), tentang kekuatan rububiyah Allah (sebagai pencipta, yang berkuasa) yang melazimkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan mengapa aku tidak boleh mempersekutukan-Nya karena jika aku melakukan kesyirikan maka ia akan menjadi dosa yang tak terampuni (jika tidak bertaubat).
Saudariku… agama Islam terlalu tinggi, canggih dan terlalu sempurna, dengan konsepnya yang sangat jelas, sehingga agama-agama lain menjadi sangat lemah untuk menjadi pembandingnya, termasuk agama yang aku anut dahulu.
sumber: mualaf.com
Selengkapnya...
Hidayah Yang Diawali Dengan Kebencian
Ia marah dengan Islam. “Aku merasa agama dan para pengikutnya telah menyerbu negara saya, “ ujarnya, dan inilah kisahnya ...
Rabu, 10 Pebruari, kota New York sedang dilanda badai salju. Sejak tengah malam lalu, salju turun tiada henti membuat jalanan menjadi sepi dan licin. Kebanyakan warga memilih tinggal di rumah, berbagai institusi ditutup sementara, termasuk sekolah-sekolah dan bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Aku sendiri cukup malas untuk meninggalkan rumah pagi. Tapi entah apa, rasanya aku tetap terpanggil untuk melangkahkan kaki menuju kantor PTRI, dan selanjutnya ke Islamic Center. Ternyata kantor PTRI juga pagi ini hanya dibuka hingga pukul 12 siang.
Aku segera menuju Islamic Cultural Center of New York dengan tujuan sekedar shalat dzuhur dan asar sekalian. Lazimnya, ketika ada badai salju atau hujan lebat, jama’ah meminta untuk menjama’ shalat. Setiba di Islamic Center aku segera menuju ruang shalat, selain untuk melihat apakah pemanas ruangan telah dinyalakan atau belum, juga untuk shalat sunnah.
Tiba-tiba saja Sekretaris memanggil, “Some one is waiting for you!”. “Let me do my sunnah and will be there!,” jawabku.
Setelah shalat sunnah, segera aku menuju ke ruang perkantoran Islamic Center. Di ruang tamu sudah ada seseorang yang relatif berumur, tapi nampak elegan dalam berpakaian. “Hi, good morning!,” sapaku. “Good morning!,” jawabnya dengan sangat sopan dan ramah. “Waiting for me?,” tanyaku sambil menjabat tangan. “Yes, and I am sorry to bother you at this early time,” katanya sambil tersenyum.
Aku mengajak pria berkulit putih tersebut ke ruangan kantor aku. Dengan berbasa-basi aku katakan “Wah mudah-mudahan Anda diberikan pahala atas perjuangan mengunjungi Islamic Center dalam suasana cuaca seperti ini,” kataku. “Oh not at all!. We used to this kind of weather,” jawabnya.
“So, what I can do for you this morning,” tanyaku memulai pembicaraan. Tanpa aku sadari orang tersebut masih berdiri di depan pintu. Barangkali dia tidak ingin lancang duduk tanpa dipersilahkan. Memang dia nampak sopan, tapi dari kata-katanya dapat dipahami bahwa dia cukup terdidik.
“Please do have your sit!,” kataku. “Thanks sir!,” jawabnya singkat.
Setelah duduk Aku ulangi lagi, pertanyaan sebelumnya “what I can do for you this morning?.” Sambil membalik posisi duduknya, dia melihat ke arahku dengan sedikit serius, tapi tetap dengan senyumnya. “I am here for….,’ seolah terhenti..”for some clarifications!,” jawabnya. Intinya, ia mengaku telah banyak membaca, mengamati dan belajar agama. "Harus jujur Aku tahu tentang hal itu banyak," jelasnya.
“That’s great!,” selaku. Dia mengaku, dari waktu ke waktu, pertanyaan tentang agamanya terus bertambah. Sementara perasaan terhadap Islam justru makin tumbuh.
Pria itu, merubah posisi duduknya dan bercerita. "Aku dulu sangat marah. Aku benar-benar membenci agama ini!, jelasnya. “Aku merasa agama dan para pengikutnya telah menyerbu negara saya, “ tambahnya dengan sangat serius. "Jadi, apa yang terjadi?, pancingku menyambung ceritanya.
Singkatnya, aku menuliskan beberapa catatan ceritanya, bagaimana kebenciannya kepada agama Islam menjadi awal ‘kehausan’ untuk mencari tahu. Suatu hari dia membeli makanan di pinggir jalan (Halal Food) di kota Manhattan. Sekedar untuk diketahui, mayoritas mereka yang jual makanan di pinggir jalan di kota New York adalah Muslim. Lalu menurutnya, di gerobak penjual makanan itu tertulis “Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasul Allah” dalam bahasa Arab. Kebenciannya yang amat sangat kepada Islam, membuatnya tidak bisa menahan diri untuk mengata-ngatai penjual makanan itu dengan kalimat, “don’t turn people away from buying your food with that ….(bad word)’, katanya sinis!.
Tapi menurutnya lagi, sang penjual itu tidak menjawab dan hanya tersenyum, bahkan merespon dengan “Thank you for coming my friend!.”
Singkatnya, menurut dia lagi, sikap ramah si penjual makanan itu selalu teringat dalam pikirannya. Bahkan sikap itu menjadikannya merasa bersalah, tapi pantang untuk datang meminta maaf. Ketidak inginannya meminta maaf itu, katanya sekali lagi, karena kebenciannya kepada agama ini (Islam, red). "Itu benar-benar membuat saya marah kepada diri saya, namun di saat yang sama, saya benar-benar ingin tahu,” sambungnya.
“Awalnya, aku hanya googling beberapa informasi mengenai agama. Kemudian mendengarkan beberapa ceramah di Youtube (terutama ceramah Hamzah Yusuf), “ ujarnya. Setelah itu kemudian membeli beberapa buku karangan non Muslim, termasuk sejarah Rasul oleh Karen Amstrong, Syari’ah oleh John Esposito, dll.
"Semakin saya pelajari, semakin aku merasa menjadi curiga dan bingung,” akunya. “Tapi apakah Anda pernah berpikir sebelumnya, mengapa begitu?,” ujarku. “Saya tidak tahu, saya kira faktor media, katanya. Yang jelas, setiap kali dia melihat pemboman, pembunuhan, pengrusakan, dan bahkan beberapa aksi film, ada-ada saja Muslim yang terkait. "Saya benar-benar tidak tahu dan bingung, apa yang sedang dipraktikkan orang-orang Islam ini?."
Dia kembali berbicara panjang, seolah menyampaikan ceramah kepadaku tentang “jurang besar” antara ilmu tentang Islam yang dia pahami dan berbagai perangai yang dia lihat dari beberapa Muslim selama ini. Di satu sisi, dia kagum dengan sikap penjual makanan tadi. Tapi di satu sisi, dia marah dengan sikap beberapa orang Islam yang justru melakukan apa yang disebutnya sebagai “kejahatan atas nama Islam.” “Dan demikian, aku pada pihak mana? Apakah suatu hari nanti aku akan menjadi seorang Muslim?, tanyanya pada dirinya sendiri.
Setelah selesai, aku kemudian memulai mengambil kendali. “Pertama, saya ucapkan selamat!,” kataku singkat. Tapi justu nampak bingung dengan ucapanku itu.
Segera aku sambung ‘You have been a real American!’. Dia tersenyum tapi masih belum paham.
“Kemarahan Anda dapat dimengerti,” kataku. Pertama-tama, karena Anda tidak tahu dan akan mencari serta bertanya tetang itu. Kedua, faktor media dan obat untuk itu adalah memperjelas. Dan saya pikir Anda melakukan yang kedua, “ tambahku
Aku mengajaknya mendiskusikan berbagai hal. Mulai dari sejarah peperangan, terorisme, pembunuhan, pengrusakan, dari dulu hingga sekarang. Dan sebaliknya, bagaimana Islam telah memainkan peranan besar dalam membangun peradaban manusia.
“Sepanjang sejarah manusia, apa yang Anda lihat sekarang ini tidaklah terlalu mengejutkan dan hal baru. Berapa banyak nyawa telah diambil, properti dihancurkan dan rumah rusak?,” tanyaku. "Dan dari awal Nabi Muhammad mengajarkan agama ini pada abad ke-7 di Arabia, hingga hari ini, berapa banyak perang dan pembunuhan yang telah melibatkan Muslim sebagai pelaku?,” pancingku lagi.
Dia nampak hanya geleng-geleng kepala dengan contoh-contoh yang aku berikan. Dari Hitler, Stalin, Perang Dunia I dan II, Hiroshima dan Nagasaki , dst. Berapa diantara mereka yang terbunuh, dan siapa yang melakukan? Peperangan di Iraq, berapa yang terbunuh ketika jet-jet Amerika mendrop boms di perkampungan- perkampungan? Siapa mayoritas tentara Amerika?
Kemudian, pernahkan dilakukan studi secara dekat, untuk mengetahui apakah benar bahwa pemboman, pembunuhan, pengrusakan yang dilakukan oleh beberapa Muslim selama ini, walau atas nama Islam, memang dibenarkan oleh Islam? Dan benarkah bahwa memang motifnya karena memperjuangkan Islam dan Muslim, atau karena memang Islam dan Muslim adalah jembatan menuju kepada ‘interest’ tertentu?, ceritaku panjang lebar.
Tak terasa, waktu adzan dhuhur telah tiba. “Sorry, that is what we call adzan or the call to pray,” jelasku. Aku diam sejenak, dia juga nampak diam mendengarkan adzan dari Sheikh Farahat, muadzin yang baru diterima sebagai pegawai di Islamic Center. Suara tammatan Al-Azhar ini memang sangat indah.
Setelah adzan, aku kembali menyambung pembicaraan. Saat ini kita membicarakan berbagai ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia, dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Secara ekonomi hanya segelintir yang menikmati kue alam, secara politik ada pemaksaan sistemik kepada negara lain, dst.
“Dengan semua ini, dan tidak ada cara untuk mengatakan bahwa pembunuhan, terutama ketika kita sampai pada kehidupan dan warga sipil tak berdosa, adalah dibenarkan atas nama berjuang untuk keadilan,” lanjutku.
Tapi karena waktu sangat singkat, aku bertanya “Apa pendapatmu? Apakah ada hal yang membuat Anda berkeberatan?, " pancingku. Dia nampak diam, tapi tersenyum dan mencoba berbicara.
“You are right!,” katanya singkat. "Aku sudah tidak adil untuk diri saya sendiri! Asosiasi saya terhadap Islam dan perilaku sebagian kaum Muslim benar-benar tidak adil.”
“You got the point, sir!”, jawabku singkat. “Sekarang, saya meminta izin sesaat untuk shalat.” Tiba-tiba saja dia melihatku dengan sedikit serius. Kali ini tanpa senyum dan berkata “Apa yang harus aku lakukan untuk menjadi seorang Muslim?” tanyanya. “Are you serious?” tanyaku. “Yes!” , jawabnya singkat. “Follow me!”, ajakku.
Aku ajak dia ke ruang wudhu, mengajarinya berwudhu, lalu ke ruang shalat. Sambil menunggu waktu iqamah, aku menyampaikan kepadanya. "Apa yang akan saya lakukan adalah membawa Anda untuk menyatakan iman Anda yang baru dengan apa yang kita sebut syahadat. Dan itu adalah untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan yang layak untuk disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya,” jelasku seraya mengingatkan apa yang pernah dia lihat dahulu di gerobak penjual makanan itu.
Sebelum iqamah dimulai aku ajak, Peter Scott, begitu nama pria tersebut, ke depan jama’ah dan menuntunnya mengucapkan “Asy-hadu anlaa ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah,” seraya diikuti gema takbir sekitar 200-an jama’ah shalat Dhuhr hari ini.
“Peter, Anda seorang Muslim sekarang, seperti orang lain di sini hari ini. Tidak ada diantara Anda yang kurang. Sebenarnya, Anda lebih baik dari kami karena Anda dipilih untuk menjadi, bukan hanya dilahirkan ke dalamnya dan mengikutinya,” jelasku sambil meminta untuk mengikuti gerakan-gerakan shalat sebisanya, tapi dengan konsentrasi.
Allahu Akbar! Semoga Peter selalu dijaga dan dijadikan pejuang di jalanNya!
sumber: hidayatullah
Selengkapnya...