Rabu, 28 Juli 2010

Kategori Riba Fadhl

riba fadhlAl-Imam Muslim bin Al-Hajjaaj rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي الْأَشْعَثِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, ‘Amru bin Naaqid, dan Ishaaq bin Ibraahiim – dan lafadh ini kepunyaan Ibnu Abi Syaibah. Ishaaq berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami; sedangkan yang dua yang lain berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Khaalid Al-Hadzdzaa’, dari Abu Qilaabah, dari Abu Asy’ats, dari ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’iir (sejenis gandum) ditukar dengan sya’iir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam; dengan sepadan/seukuran dan harus secara kontan. Apabila komoditasnya berlainan, maka juallah sekehendak kalian asalkan secara kontan juga” [Shahih Muslim no. 1587].

Al-Imam Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
Telah menceritakan kepada kami Abul-Waliid : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Ibnu Syihaab, dari Maalik bin Aus, ia mendengar ‘Umar radliyallaahu ‘ahumaa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Gandum ditukar dengan gandum adalah riba kecuali secara kontan, sya’iir ditukar dengan sya’iir/jewawut adalah riba kecuali secara kontan, dan kurma ditukar dengan krma adalah riba kecuali secara kontan” [Shahih Al-Bukhaariy, no. 2170].
Sebagian Fiqh Hadits
Hadits di atas menjelaskan tentang enam komponen barang dalam katagori riba fadhl, dan bagaimana cara jual beli yang dibenarkan terhadap barang-barang tersebut. Enam komponen tersebut adalah :
a. Emas.
b. Perak.
c. Gandum.
d. Sya’iir (sejenis gandum juga).
e. Kurma.
f. Garam.
Jumhur ulama mengatakan bahwa komponen barang dalam riba fadhl tidak terbatas pada enam jenis di atas, akan tetapi juga pada jenis-jenis lain yang sifatnya dapat diqiyaskan dengannya. Adapun golongan Dhahiriyyah hanya membatasi pada enam jenis tersebut karena mereka menolak penggunaan qiyas.
Emas dan perak masuk dalam komponen riba fadhl karena ia merupakan emas dan perak, baik sebagai alat tukar ataupun bukan. Inilah yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Dalil yang mendasari pendapat ini adalah :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ أَبِي شُجَاعٍ سَعِيدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي عِمْرَانَ عَنْ حَنَشٍ الصَّنْعَانِيِّ عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ اشْتَرَيْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ قِلَادَةً بِاثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرَزٌ فَفَصَّلْتُهَا فَوَجَدْتُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ اثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Laits, dari Abu Syujaa’ Sa’iid bin Yaziid, dari Khaalid bin Abi ‘Imraan, dari Hanasy Ash-Shan’aaniy, dari Fadlaalah bin ‘Ubaid, ia berkata : "Aku pernah membeli sebuah kalung di hari (penaklukan) Khaibar seharga 12 dinar. Pada kalung tersebut terdapat emas dan permata. Lalu aku pisahkan ia (emas dan permata dari kalung), dan ternyata aku dapatkan nilainya lebih dari 12 dinar. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun bersabda : "Janganlah kamu menjualnya sehingga kamu memisahkannya (emas dari kalungnya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1591].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara emas dinar yang berfungsi sebagai alat tukar dengan emas yang terdapat dalam kalung yang berfungsi sebagai perhiasan, sehingga keduanya – ketika akan ditukarkan/dijual – harus sepadan (dan kontan).
Terkait dengan itu, semua barang yang mempunyai fungsi sebagai alat tukar, maka dapat diqiyaskan dengan emas dan perak. Termasuk dalam hal ini adalah uang di jaman sekarang – menurut pendapat yang paling raajih dari kalangan ulama kontemporer.
Empat jenis lainnya (gandum, sya’iir, kurma, dan garam) masuk dalam komponen riba fadhl karena mempunyai nilai fungsional sebagai bahan makanan pokok dan bisa ditakar. Inilah yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat ini ditopang oleh hadits :
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو ح و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ أَبَا النَّضْرِ حَدَّثَهُ أَنَّ بُسْرَ بْنَ سَعِيدٍ حَدَّثَهُ عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ أَرْسَلَ غُلَامَهُ بِصَاعِ قَمْحٍ فَقَالَ بِعْهُ ثُمَّ اشْتَرِ بِهِ شَعِيرًا فَذَهَبَ الْغُلَامُ فَأَخَذَ صَاعًا وَزِيَادَةَ بَعْضِ صَاعٍ فَلَمَّا جَاءَ مَعْمَرًا أَخْبَرَهُ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ مَعْمَرٌ لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ انْطَلِقْ فَرُدَّهُ وَلَا تَأْخُذَنَّ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ فَإِنِّي كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلًا بِمِثْلٍ قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ قِيلَ لَهُ فَإِنَّهُ لَيْسَ بِمِثْلِهِ قَالَ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُضَارِعَ
Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ma’mar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru. Dan telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb, dari ‘Amru bin Al-Haarits : Bahwasannya Abun-Nadlr telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya Busr bin Sa’iid telah menceritakan kepadanya, dari Ma’mar bin ‘Abdillah : Bahwa ia pernah menyuruh pelayannya dengan membawa satu sha' tepung, lalu ia berkata : "Juallah gandum itu, lalu tukarkanlah dengan sya’iir/jewawut". Lalu pelayannya itu pergi dan mengambil lebih dari satu sha' gandum. Ketika Ma'mar datang, pelayan itu memberitahukan kepadanya tentangnya. Ma'mar berkata kepadanya : "Kenapa engkau lakukan hal itu ? Pergi dan kembalikan sya’iir/jewawut itu, janganlah kamu mengambilnya kecuali dengan takaran yang sama. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : Makanan dengan makanan harus sebanding. Ma'mar berkata lagi : "Saat itu makanan kami adalah sya’iir". Lalu dikatakan kepadanya : "Sesungguhnya hal itu tidak sama jenisnya (yaitu antara tepung dengan sya’iir sehingga boleh hukumnya ditukar dengan berbeda ukuran)". Ma’mar menjawab : "Sesungguhnya aku khawatir jika hal itu menyerupai praktek riba" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1592].
Ma’mar telah menyebutkan ‘illat tidak bolehnya penukaran gandum (qamh) dengan sya’iir (sejenis gandum juga) beda takaran karena keduanya termasuk jenis makanan yang harus sama takarannya saat ditukarkan satu dengan yang lainnya jika satu jenis. Antara qamh dan sya’iir, maka ia merupakan barang yang sejenis.[1]
Oleh karena itu, semua jenis bahan makanan yang ditakar dapat diqiyaskan keempat jenis komoditas tersebut.
Dari beberapa hadits yang disebutkan di atas, para ulama merumuskan beberapa kaedah sebagai berikut :
1. Diharuskan sama ukurannya (takaran atau timbangannya) dan diserahkan secara kontan apabila barang-barang yang ditransaksikan adalah barang-barang yang sama jenisnya dan nilai fungsionalnya. Misalnya : emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, dan yang lainnya.[2]
2. Tidak diharuskan sama ukurannya (takaran atau timbangannya) namun harus diserahkan secara kontan, apabila barang-barang yang ditransaksikan adalah barang-barang yang tidak sejenis namun mempunyai nilai fungsional yang sama. Misalnya : emas dengan perak, uang dengan emas, beras dengan kurma, dan yang lainnya.
3. Tidak diharuskan sama ukurannya dan boleh diserahkan secara tertunda (tidak kontan/hutang), apabila barang-barang yang ditransaksikan adalah barang-barang yang tidak sejenis lagi berbeda nilai fungsionalnya. Misalnya : kurma dengan perak, uang dengan beras, dan yang lainnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa transaksi jual-beli yang mengandung riba adalah batal atau tidak sah. Barangsiapa yang mempraktekkan riba, maka transaksinya itu ditolak meskipun ia tidak tahu, karena ia telah berbuat dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allah ta’ala.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga sedikit tulisan di atas ada manfaatnya. Bagi rekan-rekan yang ingin mengetahui bahasan tentang riba ini, bisa dibaca buku : Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah buah pena Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri hafidhahullah (Pustaka Daarul-Ilmi).
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, 00.04 WIB, 27072010].



[1] Seperti misal beras rojolele dengan beras IR, kedelai putih dengan kedelai hitam, dan yang semisalnya.
[2] Termasuk hal yang dilarang namun banyak dipraktekkan di jaman sekarang adalah menukar emas 24 karat dengan emas 21 karat atau menukar beras berkualitas baik dengan beras berkualitas kurang baik; dengan ukuran (timbangan/takaran) yang berbeda. Dasarnya :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ هُوَ ابْنُ سَلَّامٍ عَنْ يَحْيَى قَالَ سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ عَبْدِ الْغَافِرِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ بِلَالٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ هَذَا قَالَ بِلَالٌ كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِنُطْعِمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا عَيْنُ الرِّبَا لَا تَفْعَلْ وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ فَبِعْ التَّمْرَ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ اشْتَرِهِ
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah bin Sallaam, dari Yahyaa, ia berkata : Aku mendengar ‘Uqbah bin ‘Abdil-Ghaafir, bahwasannya ia mendengar Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu berkata : “"Bilaal datang menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan membawa kurma Barniy (jenis kurma terbaik). Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Dari mana kurma ini?". Bilaal menjawab : "Kami memiliki kurma yang jelek, lalu aku jual dua shaa' kurma tersebut dengan satu shaa' kurma yang baik agar kami dapat menghidangkannya kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam”. Mendengar hal itu, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Celaka celaka, ini benar-benar riba. Janganlah engkau melakukannya. Jika engkau ingin membelinya, maka juallah kurmamu dengan harga tertentu, baru kemudian belilah kurma yang baik ini" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2312].
Hadits ini juga memberi pengajaran bagi kita bagaimana praktek yang seharusnya dilakukan; yaitu menguangkan (menjual) terlebih dahulu barang yang kita miliki, baru setelah itu kita beli barang sejenis yang lebih baik atau lebih rendah kualitasnya. Selengkapnya...

Keutamaan Puasa Pada Bulan Sya'baan

bulan sya'baanIbnu Hajar rahimahullah berkata :

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ, وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ, وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa hingga kami menyangka beliau tidak berbuka; dan beliau berbuka hingga kami menyangka beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadlan. Dan aku juga tidak pernah melihat satu bulan yang beliau banyak berpuasa padanya kecuali Sya’baan” – Muttafaqun ‘alaihi, dan lafadh hadits ini milik Muslim [lihat : Buluughul-Maraam hal. 198 no. 683, tahqiq & takhrij & ta’liq : Samiir bin Amiin Az-Zuhairiy; Cet. 7/1424 H].

Takhrij :
Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ (2/365 no. 751 – Al-Hilaaliy); dan darinya Al-Bukhaariy (no. 1969), Muslim (no. 1156 - 175), Abu Daawud (no. 2434), Al-Baihaqiy (4/292), dan Al-Baghaawiy dalam Syarhus-Sunnah (6/328 no. 1776) – semuanya dari jalan Maalik, dari Abun-Nadlr maula ‘Umar bin ‘Ubaidullah, dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad (6/143 & 165), At-Tirmidziy dalam Al-Jaami’ (no. 737) & Asy-Syamaail (no. 302 – Al-Fakhl), An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa (no. 2908), Ibnu Abi Syaibah (3/103), dan ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab (no. 1514 – Al-‘Adawiy); dari dua jalan (‘Abdah dan Ibnu Numair), dari Muhammad bin ‘Amru, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ وَلَمْ أَرَهُ يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ
“Beliau biasa berpuasa hingga kami berkata beliau akan senantiasa tidak berbuka, dan beliau berbuka hingga kami berkata beliau akan senantiasa tidak berpuasa. Aku tidak pernah melihat beliau berpuasa dalam satu bulan lebih banyak dari puasanya di bulan Sya’baan. Beliau berpuasa di bulan Sya'baan hingga sisa harinya tinggal sedikit, bahkan beliau berpuasa secara keseluruhan”.
Lafadh ini milik Ahmad.
Sanad hadits ini hasan, karena Muhammad bin ‘Amru (bin ‘Alqamah Al-Laitsiy) seorang yang shaduuq [Tahriirut-Taqriib, 3/299 no. 6188].
Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy (no. 1970) dan Muslim (no. 782 - 177), keduanya dari jalan Hisyaam, dari Yahyaa bin Abi Katsiir : Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَقُولُ خُذُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً دَاوَمَ عَلَيْهَا
"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa dalam satu bulan lebih banyak daripada Sya’baan. Beliau (seakan-akan) berpuasa di bulan Sya'ban seluruhnya. Dan beliau bersabda : ‘Lakukanlah amal-amal yang kalian sanggup melakukannya, karena Allah tidak pernah merasa bosan hingga kalian sendiri yang bosan’. Dan shalat yang paling Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam cintai adalah yang dilakukan secara kontinyu meskipun sedikit. Dan beliau bila melaksanakan shalat (sunnat), maka beliau melakukannya secara kontinyu”.
Lafadh ini milik Al-Bukhaariy.
Diriwayatkan juga oleh Al-‘Uqailiy (hal. 621 no. 780) dari jalan Thariif, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah : Bahwasannya ‘Aaisyah menceritakan mereka :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصوم شعبان كله. قلت : يا رسول الله! أرأيت شعبان أحب الشهور إليك أن تصومه ؟. قال : إن الله يكتب كل نفس قبضت في تلك السنة فأحب أن يأتيني أجلي وأنا صائم.
Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa Sya’bah seluruhnya. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah engkau berpendapat Sya’baan merupakan bulan yang paling engkau senangi untuk berpuasa di dalamnya ?”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah menetapkan bagi setiap jiwa diwafatkan di tahun tersebut. Maka aku senang jika saat ajal menjemputku dan aku dalam keadaan berpuasa”.
Thariif bin Ad-Daffaa’, ia tidak mempunyai hadits lain selain dari hadits ini. Oleh karena itu Al-‘Uqailiy berkata : “Ia tidak diketahui melainkan dengan hadits ini, dan ia tidak punyai mutaba’ah.
Kemudian Al-‘Uqailiy meriwayatkan dari jalan ‘Amru bin Abi Qais, dari Manshuur, dari Saalim bin Abil-Ja’d, dari Abu Salamah, ia berkata : Aku bertanya kepada Ummu Salamah tentang puasa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia menjawab :
ما رأيته يصوم شهرًا إلا شعبان فإنه كان يصله برمضان.
“Aku tidak pernah melihat beliau berpuasa selama satu bulan kecuali Sya’baan. Sesungguhnya beliau menyambungkannya dengan Ramadlan”.
Riwayat ini lebih didahulukan (daripada riwayat sebelumnya) [selesai perkataan Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’, hal. 621].
Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 1156 - 176), Ahmad (6/39), Ibnu Maajah (no. 1710), Al-Humaidiy (no. 173), Abu Ya’laa (no. 4633 & 4860), Ibnu Abi Syaibah (3/103), dan Al-Baihaqiy (4/292); semuanya dari jalan Sufyaan (bin ‘Uyainah), dari Ibnu Abi Labiid, dari Abu Salamah, ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang puasa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia menjawab :
كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berpuasa hingga kami berkata bahwa beliau akan senantiasa berpuasa. Dan beliau berbuka sehingga kami berkata bahwa beliau akan senantiasa berbuka. Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa (sunnah) dalam sebulan lebih banyak daripada puasa beliau di bulan Sya’baan. Beliau berpuasa di bulan Sya'baan hingga sisa harinya tinggal sedikit."
Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 1156) dari jalan ‘Abdullah bin Syaqiiq, ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : "Apakah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah berpuasa sebulan penuh ?". ‘Aaisyah menjawab :
مَا عَلِمْتُهُ صَامَ شَهْرًا كُلَّهُ إِلَّا رَمَضَانَ وَلَا أَفْطَرَهُ كُلَّهُ حَتَّى يَصُومَ مِنْهُ حَتَّى مَضَى لِسَبِيلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Aku tidak mengetahui beliau berpuasa selama sebulan penuh kecuali Ramadlaan. Dan beliau juga belum pernah berbuka sebulan penuh hingga (pasti ada hari yang) beliau berpuasa padanya; hingga beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam wafat".
Di lain riwayat ‘Aaisyah menjawab :
كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ قَدْ صَامَ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ قَدْ أَفْطَرَ قَالَتْ وَمَا رَأَيْتُهُ صَامَ شَهْرًا كَامِلًا مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَمَضَانَ
“Beliau berpuasa hingga kami berkata beliau akan senantiasa berpuasa. Dan beliau berbuka hingga kami berkata beliau akan senantiasa berbuka. Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa selama sebulan penuh sejak beliau tiba di Madinah, kecuali Ramadlaan".
Sebagian Fiqh Hadits :
Hadits ini merupakan dalil yang cukup jelas tentang masyru’-nya berpuasa (sunnah) di bulan Sya’baan dan keutamaan yang besar padanya. Tidak ada bulan yang lebih banyak beliau berpuasa di dalamnya kecuali bulan Sya’baan. Akan tetapi, hal itu bukan berarti puasa di bulan tersebut merupakan puasa sunnah yang paling utama. Perhatikan riwayat berikut :
حَدَّثَنِي قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
Telah menceritakan kepadaku Qutaibah bin Sa’iid[1] : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah[2], dari Abu Bisyr[3], dari Humaid bin ‘Abdirrahmaan Al-Himyariy[4], dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Puasa yang paling utama setelah Ramadlaan adalah puasa di bulan Allah Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam (shalat lail)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1163].[5]
Hadits ini memberikan satu faedah bahwa keutamaan dalam agama/syari’at bukan berasal dari logika, melainkan dari nash. Setiap amalan mempunyai tingkatan-tingkatan dalam hal keutamaan. Begitu juga dengan waktu dilakukannya amalan itu sendiri.
Adapun hadits :
عن أنس قال : سئل النبي صلى الله عليه وسلم أي الصوم أفضل بعد رمضان فقال شعبان لتعظيم رمضان قيل فأي الصدقة أفضل قال صدقة في رمضان
Dari Anas, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : “Puasa apakah yang paling utama setelah Ramadlaan ?”. Beliau menjawab : “Sya’baan untuk memuliakan Ramadlaan”. Dikatakan : “Lalu shadaqah apakah yang paling utama ?”. Beliau menjawab : “Shadaqah di bulan Ramadlaan”.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 663, Ibnu Abi Syaibah 3/103, Abu Ya’laa no. 3431, Ath-Thahaawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/83, dan Al-Baghawiy no. 1778; dari dua jalan (Muusaa bin Ismaa’iil dan Yaziid bin Haaruun), dari Shadaqah bin Muusaa, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari Anas secara marfu’. Sanad hadits ini lemah karena kelemahan dari Shadaqah bin Muusaa[6].
Diriwayatkan juga Ahmad 3/230 dari jalan Yuunus : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Rasyiid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Anas bin Siiriin, ia berkata : Kami mendatangi Anas bin Maalik…..(al-hadits)…”. Hadits ini lemah, karena kelemahan ‘Utsmaan bin Rusyaid[7].
Ada kemusykilan terkait dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa penuh di bulan Sya’baan; di lain riwayat disebutkan bahwa tidaklah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan secara penuh kecuali di bulan Ramadlaan. Bagaimana cara memahaminya ? Ada beberapa penjelasan mengenai hal ini.
Sebagian ulama ada yang memahami bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kadang berpuasa penuh di bulan Sya’baan, kadang pula tidak berpuasa penuh. Namun pendapat ini tertolak, sebab telah shahih dan shaarih penjelasan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa :
وَمَا رَأَيْتُهُ صَامَ شَهْرًا كَامِلًا مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَمَضَانَ
“Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa selama sebulan penuh sejak beliau tiba di Madinah, kecuali Ramadlaan".
Yang raajih dalam hal ini – wallaahu a’lam – adalah sebagaimana dikatakan At-Tirmidziy sebagai berikut :
وروي عن بن المبارك أنه قال في هذا الحديث قال هو جائز في كلام العرب إذا صام أكثر الشهر أن يقال صام الشهر كله ويقال قام فلان ليله أجمع ولعله تعشى واشتغل ببعض امره كأن بن المبارك قد رأى كلا الحديثين متفقين يقول إنما معنى هذا الحديث أنه كان يصوم أكثر الشهر
“Dan diriwayatkan dari Ibnul-Mubaarak bahwasannya ia berkata tentang hadits ini : ‘Merupakan kebiasaan dalam percakapan orang Arab apabila seseorang berpuasa pada sebagian besar hari dalam sebulan, maka akan dikatakan ia berpuasa sebulan penuh. Dan dikatakan : ‘Fulaan melakukan shalat (sunnah) pada seluruh malamnya’ – padahal mungkin ia makan malam dan melakukan sebagian urusannya di malam tersebut’. Sepertinya Ibnul-Mubaarak memandang dua hadits di atas memiliki korelasi arti yang sama. Ia berkata : ‘Makna hadits tersebut adalah bahwa beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada sebagian besar hari di bulan Sya'baan” [Jaami’ At-Tirmidziy, 2/107].
Ada kemusykilan lain dalam bahasan puasa Sya’baan ini, yaitu hadits :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ح و حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ خَالِدٍ قَالَا حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا صَوْمَ حَتَّى يَجِيءَ رَمَضَانُ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdah[8] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad[9]. Dan telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar[10] : Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Khaalid[11]; mereka berdua (‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad dan Muslim bin Khaalid) berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Al-‘Alaa’ bin ‘Abdirrahmaan[12], dari ayahnya[13], dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila tiba pertengahan bulan Sya’baan, janganlah berpuasa hingga tiba bulan Ramadlan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1651; shahih].
Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaaq (no. 7325), Ibnu Abi Syaibah (3/21), Ahmad (2/442), Ad-Daarimiy (no. 1747-1748), Abu Daawud (no. 2337), At-Tirmidziy (no. 738), Ibnu Hibbaan (no. 3589), dan Al-Baihaqiy (4/209).
Bagaimana mengkompromikannya dengan hadits-hadits tentang perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berpuasa di kebanyakan hari pada bulan Sya’baan ? Apakah memang terlarang jika ada seseorang yang baru berpuasa ketika Sya’baan telah berjalan di pertengahannya ?
At-Tirmidziy menjelaskan jawabannya sebagai berikut :
وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ مُفْطِرًا فَإِذَا بَقِيَ مِنْ شَعْبَانَ شَيْءٌ أَخَذَ فِي الصَّوْمِ لِحَالِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُشْبِهُ قَوْلَهُمْ حَيْثُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقَدَّمُوا شَهْرَ رَمَضَانَ بِصِيَامٍ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَقَدْ دَلَّ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّمَا الْكَرَاهِيَةُ عَلَى مَنْ يَتَعَمَّدُ الصِّيَامَ لِحَالِ رَمَضَانَ
“Makna hadits tersebut menurut sebagian ulama adalah : Jika seseorang tidak terbiasa berpuasa, kemudian ketika masuk pada pertengahan bulan Sya'ban, ia baru mulai berpuasa karena (menyambut) bulan Ramadlaan. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam (satu hadits) yang semisal makna yang diterangkan oleh mereka, yaitu beliau shalallaahu 'alaihi wa salam bersabda : ‘Janganlah kalian berpuasa mendahului bulan Ramadlaan dengan puasa, kecuali jika bertepatan hari yang kalian biasa berpuasa’. Hadits ini menunjukan larangan bagi orang yang sengaja berpuasa menjelang datangnya puasa Ramadlan” [Dinukil melalui perantaraan Jaami’ Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah fish-Shiyaam wal-Qiyaam wal-I’tikaaf oleh Hamdiy Haamid Shubh, hal. 37, muraja’ah : ‘Aliy Al-Halabiy].
Terakhir, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah puasa yang beliau lakukan di kebanyakan hari pada bulan Sya’baan melalui riwayat :
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ أَبُو الْغُصْنِ شَيْخٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy[14], dari ‘Abdurrahmaan[15], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Tsaabit bin Qais Abul-Ghushn[16] - seorang syaikh dari kalangan penduduk Madiinah - ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Sa’iid Al-Maqburiy[17], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Usaamah bin Zaid, ia berkata : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalan satu bulan seperti halnya puasamu di bulan Sya’baan ?”. Beliau menjawab : "Itulah bulan yang dilalaikan manusia yang terletak antara bulan Rajab dan Ramadlaan. Ia adalah bulan yang padanya amal perbuatan diangkat kepada Rabbul-’Aalamiin. Dan aku senang seandainya amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa" [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy no. 2347; hasan – lihat Shahih Sunan An-Nasaa’iy, 2/153].
Adakah kita ‘tertarik’ dengan alasan yang disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga mengikuti jejak beliau dalam amalan ?
Alhamdulillah, artikel kecil tentang puasa Sya’baan ini selesai dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abu al-jauzaa’ al-bogoriy – 1431].


[1] Qutaibah bin Sa’iid bin Jamiil bin Thariif Ats-Tsaqafiy Abu Rajaa’ Al-Baghlaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (148-240 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. no. 5557].
[2] Namanya adalah Al-Wadldlaah bin ‘Abdillah Al-Yasykuriy Abu ‘Awaanah Al-Waasithiy Al-Bazzaar; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 175/176 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1036 no. 7457].
[3] Namanya adalah Bayaan bin Bisyr Al-Ahmasiy Al-Bajaliy Abu Bisyr Al-Kuufiy Al-Mu’allim; seorang yang tsiqah lagi. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 180 no. 797].
[4] Humaid bin ‘Abdirrahmaan Al-Himyariy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi faqiih. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 275 no. 1563].
[5] Hadits ini di-ta’lil oleh Ad-Daaruquthniy dalam At-Tatabbu’ dimana ia mengatakan bahwa Abu ‘Awaanah telah diselisihi oleh Syu’bah yang meriwayatkan dari Abu Bisyr, dari Humaid bin ‘Abdirrahmaan secara mursal. Namun ta’lil ini perlu dicermati lebih lanjut. Abu ‘Awaanah merupakan aqran dari Syu’bah yang kedudukannya selevel (tsiqah tsabat). Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa Abu Bisyr meriwayatkan hadits tersebut dari Humaid dengan dua bentuk, yaitu muttashil dan mursal. Apalagi riwayat muttashil ini mempunyai penguat. Muslim telah membawakan mutaba’ah bagi Abu Bisyr dalam riwayat muttashil ini dari Muhammad bin Al-Muntasyir :
وحدثني زهير بن حرب. حدثنا جرير عن عبدالملك بن عمير، عن محمد بن المنتشر، عن حميد بن عبدالرحمن، عن أبي هريرة رضي الله عنه. يرفعه. قال : سئل: أي الصلاة أفضل بعد المكتوبة ؟ وأي الصيام أفضل بعد شهر رمضان ؟ فقال " أفضل الصلاة، بعد الصلاة المكتوبة، الصلاة في جوف الليل. وأفضل الصيام، بعد شهر رمضان، صيام شهر الله المحرم".
Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari ‘Abdul-Malik bin ‘Umair, dari Muhammad bin Al-Muntasyir, dari Humaid bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu secara marfu’. Beliau pernah ditanya : "Shalat apakah yang paling utama setelah shalat wajib ? Dan puasa apakah yang paling utama setelah puasa di bulan Ramadlaan?". Maka beliau menjawab : "Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat yang dilakukan di tengah malam. Dan puasa yang paling utama setelah puasa di bulan Ramadlan adalah puasa di bulan Allah Muharram" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1163].
Zuhair bin Harb bin Syaddaad Abu Khaitsamah An-Nasaa’iy adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 341 no. 2053]. Jariir bin ‘Abdil-Hamiid Adl-Dlabbiy adalah seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 196 no. 924]. ‘Abdul-Malik bin ‘Umair bin Suwaid Al-Lakhamiy adalah seorang yang tsiqah, fashiih, lagi ‘aalim, namun hapalannya berubah dan kadang melakukan tadlis, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 625 no. 4228]. Muhammad bin Al-Munstasyir bin Al-Ajda’ Al-Hamdaaniy adalah seorang yang tsiqah, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal 899 no. 6364].
Silakan baca pembahasan ini dalam buku : Bainal-Imamaini Muslim wad-Daariquthniy oleh Dr. Rabii’ bin Haadiy Al-Madkhaliy, hal. 213-215.
[6] Shadaqah bin Muusaa Ad-Daqiiqiy Abul-Mughiirah/Abu Muhammad As-Sulamiy Al-Bashriy. Para ulama berselisih tentangnya.
Muslim bin Ibraahiim berkata : “Shaduuq”. Telah berkata Abu Bakr bin Abi Khaitsamah dari Yahyaa bin Ma’iin : “Haditsnya tidak ada apa-apanya”. Telah berkata Mu’aawiyyah bin Shaalih dari Yahyaa bin Ma’iin, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Abu Bisyr Ad-Duulabiy : “Dla’iif”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Sebagian haditsnya ada mutaba’ah-nya, dan sebagian yang lain tidak ada mutaba’ah-nya”. At-Tirmidziy berkata : “Ia di sisi mereka (para ulama) tidak kuat” [Tahdziibul-Kamaal, 13/149-155 no. 2870]. Abu Haatim berkata : “Layyinul-hadiits, ditulis haditsnya namun tidak boleh berhujjah dengannya, lagi tidak kuat”. Abu Ahmad Al-Haakim : “Tidak kuat di sisi mereka (ulama)”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia seorang syaikh yang shaalih, namun hadits bukanlah termasuk pekerjaannya. Ia apabila meriwayatkan, membolak-balikkan khabar hinga keluar dari batas untuk berhujjah dengannya”. Al-Bazzaar berkata : “Tidak haafidh di sisi mereka (ulama). Di kesempatan lain ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. As-Saajiy berkata : “Dla’iiful-hadiits” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/418-419 no. 731]. Ahmad berkata : “Aku tidak mengetahuinya” [Suaalaat Ibni Haani’ no. 2263]. Ad-Daaruquthniy berkata : “Matruuk” [Suaalaat Al-Barqaaniy no. 226]. Ibnu Syaahiin memasukkanya dalam Taariikh Asmaa’ Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzaabiin (hal. 111 no. 309). Adz-Dzahabiy berkata : “Dla’iif” [Al-Kaasyif, 1/502 no. 2388]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq mempunyai beberapa keraguan (lahu auhaam)” [At-Taqriib, hal. 452 no. 2937]. Basyaar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Dla’iif” [Tahriirut-Taqriib, 2/139 no. 2921]. Ibnu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Dla’iif” [Natslun-Nabaal bi-Mu’jamir-Rijaal, hal. 692 no. 1534].
Kesimpulan : Shadaqah seorang perawi yang dla’iif – sebagaimana pendla’ifan dari jumhur ulama dari kalangan kibaarul-muhadditsiin.
[7] ‘Utsmaan bin Rusyaid Ats-Tsaqafiy; ia telah didla’ifkan Ibnu Ma’iin. Ibnu Hibbaan berkata : “Munkarul-hadiits, karena sedikitnya riwayat yang dimilikinya. Tidak boleh berhujjah dengannya kecuali setelah melakukan penelitian penyimakannya dari Anas” [lihat : Lisaanul-Miizaan 5/388-389 no. 5115, At-Tadzkirah bi-Ma’rifati Rijaal Kutubil-‘Asyrah, hal. 1136 no. 4492, dan Mishbaahul-Ariid 2/329 no. 17408].
[8] Ahmad bin ‘Abdah bin Muusaa Adl-Dlabbiy Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah (w. 245 H). Dipakai oleh Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 94 no. 74].
[9] Ia adalah ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad bin ‘Ubaid Ad-Daraawardiy Abu Muhammad Al-Juhhaniy (w. 186/187 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ada beberapa komentar ulama tentangnya : Mush’ab bin ‘Abdillah bin Az-Zubair berkata : “Maalik bin Anas mentsiqahkan Ad-Daraawardiy”. Ahmad berkata : “Ia seorang yang ma’ruuf sebagai seorang pencari hadits. Apabila ia meriwayatkan dari kitabnya, maka shahih. Namun bila ia meriwayatkan dari kitab-kitab milik orang lain, ada keraguan. Ia membaca kitab-kitab mereka, lalu keliru. Kadang ia membalikkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar, dimana ia meriwayatkannya (menjadi) dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Ad-Daraawardiy lebih tsabt daripada Fulaih bin Sulaimaan, Ibnu Abiz-Zinaad, dan Abu Aus. Ad-Daraawardiy kemudian Ibnu Abi Haazim”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah hujjah”. Abu Zur’ah berkata : “Jelek hapalan. Kadang meriwayatkan dari hapalannya, ada sesuatu padanya, lalu ia keliru”. Abu Haatim berkata : “Muhaddits”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya. Adapun haditsnya yang berasal dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar adalah munkar”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, banyak mempunyai hadits, melakukan beberapa kekeliruan” [Lihat : Tahdziibul-Kamaal, 18/187-195 no. 3470]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Sering keliru (yukhthi’)”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Ia termasuk orang-orang yang jujur dan amanah, akan tetapi ia mempunyai banyak keraguan” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/353-355 no. 680].
Al-Bardza’iy pernah berkata : Aku pernah bertanya lepada Abu Zur’ah : “Fulaih bin Sulaimaan, ‘Abdurrahmaan bin Abiz-Zinaad, Abu Aus, Ad-Daraawardiy, dan Ibnu Abi Haazim, mana di antara mereka yang lebih engkau senangi ?”. Ia menjawab : “Ad-Daraawardiy dan Ibnu Abi Haazim lebih aku senangi daripada mereka semua” [Suaalaat Al-Bardza’iy lembar 424-425]. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “’Abdul-‘Aziiz di sisi penduduk Madiinah adalah seorang imam yang tsiqah” [Al-Ma’rifatu wat-Taariikh, 1/349].
Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun ia meriwayatkan dari kitab-kitab orang lain lalu keliru” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 615 no. 4147]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Tsiqah” [Tahriirut-Taqriib, 2/371 no. 4119]. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Tsiqah” [Natslun-Nabaal bi-Mu’jamir-Rijaal, hal. 801-802 no. 1852]. Al-Albaaniy berkata : “Tsiqah” [Al-Irwaa’, 1/295].
Kesimpulannya : Ia seorang yang tsiqah yang sedikit mendapat kritikan di jurusan hapalannya. Khusus riwayatnya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar mendapat pengingkaran sehingga dilemahkan sebagian ulama.
[10] Hisyaam bin ‘Ammaar bin Nushair bin Maisarah bin Abaan As-Sulamiy Abul-Waliid Ad-Dimasyqiy (w. 145 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya. Ada banyak komentar ulama mengenainya, diantaranya :
Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Di lain riwayat ia berkata : “Pandai/cerdas”. Di lain riwayat ia berkata : “Hisyaam bin ‘Ammaar lebih aku senangi daripada Ibnu Abi Maalik”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa denganya”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Di lain riwayat ia berkata : “Shaduuq”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Shaduuq, kabiirul-mahal”. Abu Haatim berkata : “Hisyaam bin ‘Ammaar ketika beranjak tua berubah (hapalannya)….. ia seorang yang shaduuq”. Abu Daawud berkata : “Hisyaam bin ‘Ammaar meriwayatkan sekitar 400 hadits yang tidak ada asalnya dari musnad” [selengkapnya lihat : Tahdziibut-Kamaal, 30/242-255 no. 6586].
Ia banyak dikritik dari sisi hapalannya, terutama ketika menjelang tua. Namun ia seorang shaduuq yang hasan haditsnya. Haditsnya lemah jika bersendirian atau ada penyelisihan dari selain dirinya. Wallaahu a’lam.
[11] Muslim bin Khaalid Al-Qurasyiy Al-Makhzumiy; seorang yang dla’iif karena hapalannya yang jelek (w. 179/180 H) [lihat : Tahriirut-Taqriib, 3/371-371 no. 6625]
[12] Al-‘Alaa’ bin ‘Abdirrahmaan bin Ya’quub Al-Huraqiy Abu Syibl Al-Madaniy (w. 130-an H). Ada beberapa komentar ulama mengenainya, di antaranya :
Ahmad berkata : “Tsiqah, aku tidak pernah mendengar seorang pun yang menyebutkan tentangnya dengan kejelekan”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Laisa bi-dzaaka, orang-orang senantiasa berhati-hati terhadap haditsnya”. Di lain riwayat ia berkata : “Haditsnya bukan merupakan hujjah. Ia dan Suhail berdekatan kedudukannya”. Abu Haatim berkata : “Shaalih, para perawi tsiqaat telah meriwayatkan darinya. Akan tetapi banyak hal yang diingkari dari hadits-haditsnya. Di sisiku, ia serupa dengan Al-‘Alaa’ bin Al-Musayyib”. An-Nasaa’iy berkata : Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Aku berpendapat tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ibnu Sa’d berkata : “Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, mempunyai banyak hadits, lagi tsabt” [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 22/520-524 no. 4577]. Al-Khaliiliy berkata : “Orang Madiinah. Ia diperselisihkan karena ia bersendirian dengan hadits-hadits yang tidak punya mutaba’ah, yaitu hadits : ‘Apabila tiba pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa’”. At-Tirmidziy berkata : “Ia tsiqah di sisi ahlul-hadiits” [Tahdziibut-Tahdziib, 8/187]. Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah, tsiqah, dan tinggal di Makkah”. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “Ia dan ayahnya tsiqah” [Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’diil, 2/334 no. 3406]. Syu’bah bin Al-Hajjaaj dan Maalik bin Anas meriwayatkan darinya dimana hal ini sama dengan pentsiqahan menurut mereka berdua.
Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, kadang ragu-ragu” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 761 no. 5286]. Al-Albaaniy berkata : “Tsiqah, termasuk perawi Muslim” [Irwaul-Ghaliil, 5/292]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Tsiqah” [Tahriirut-Taqriib, 3/129-130 no. 5247]. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Tsiqah” [Natslun-Nabaal, hal. 969 no. 2332].
Kesimpulan : Ia seorang perawi tsiqah.
[13] ‘Abdurrahmaan bin Ya’quub Al-Huraqiy Al-Juhhaniy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 605 no. 4073].
[14] ‘Amru bin ‘Aliy bin Bahr bin Kaniiz Abu Hafsh Al-Fallaas; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 249 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 741 no. 5116].
[15] ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy bin Hassaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Anbariy Abu Sa’iid Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabt, lagi haafidh (135-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 601 no. 4044].
[16] Tsaabit bin Qais Al-Ghiffaariy Abul-Ghusn Al-Madiniy, seorang yang diperselisihkan para ulama (w. 168 H).
Ahmad bin Hanbal berkata : “Tsiqah”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Dalam riwayat lain ia berkata : “Haditsnya tidak seperti itu (laisa bi-dzaaka), dan ia seorang yang shaalih”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu Sa’d berkata : “Seorang syaikh yang sedikit haditsnya” [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 4 no. ]. Abu Dawud berkata : “Haditsnya tidak seperti itu”. Al-Haakim berkata : “Tidak haafidh, dan tidak dlaabith”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia seorang yang sedikit haditsnya, banyak ragunya terhadap apa yang diriwayatkannya, tidak boleh berhujjah dengan riwayatnya apabila ia tidak diikuti (mempunyai mutaba’ah) oleh perawi lain”. Namun ia (Ibnu Hibbaan) juga memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 2/13-14 no. 20]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah” [Al-Kaasyif, 1/282-283 no. 696]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, sering ragu” [Taqriibut-Tahdziib, 187 no. 836]. Basyaar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Hasanul-hadiits” [Tahriirut-Taqriib, 1/197 no. 828].
Kesimpulan : Ia seorang yang shaduuq, hasanul-hadiits”.
[17] Namanya Kaisaan Abu Sa’iid Al-Maqburiy Al-Madiniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Tarqiibut-Tahdziib, hal. 814 no. 5712].
Selengkapnya...

Software Gratis Untuk Membuat Buku

software gratisSoftware untuk cetak masuk dalam desktop publishing dan yang (paling) populer adalah Adobe Pagemaker, tapi harga (originalnya) mahal.

Untuk yang free, saya sudah mencoba untuk mencetak diktat-diktat (berukuran tidak terlalu tebal) dengan menggunakan software dari Serif. Nama programnya adalah PagePlus. Menurut pendapat saya program ini cukup memadai dan userfriendly. Program ini ada yang bayar tetapi ada juga yang free version. Yang free version namanya PagePlus SE, silakan download di sini Selengkapnya...

Pusat Makanan Halal Internasional

halal foodPemerintah Penang telah mengalokasikan sekitar 423,5 milyar dalam usahanya menjadikan Penang sebagai pusat halal internasional. Kini meski belum rampung sepenuhnya, namun Penang Halal Park telah menuai berbagai respon positif.

Makin tingginya permintaan akan produk halal, membuat pemerintah Penang melakukan transformasi dengan menjadikan Penang sebagai pusat halal internasional. Tentunya selain untuk memenuhi tingginya permintaan konsumen, pemerintah juga berharap bisa menyediakan pelayanan dan solusi akan produk halal.

Untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah Penang telah mengalokasikan dana sebesar RM150 juta atau sekitar 423,5 milyar untuk membuat Penang Halal Park. Halal Park yang berlokasi di Bukit Minyak, Seberang Praikini telah mencapai tahap pertama yaitu lebih dari 11ha dari keseluruhan area tamans sebesar 53ha.

Ketua Menteri Penang, Lim Guan Eng mengatakan bahwa tahap pertama telah selesai dan memperoleh respon positif dari berbagai negara yang siap untuk berinvestasi di Penang Halal Park. "Kini sembilan MOU kerjasama telah ditandatangani dengan beberapa pihak seperti Malaysia, Australia, UEA, Cina, dll. Kami siap untuk melanjutkan pada tahap selanjutnya," ujar Lim.

Pusat halal internasional tersebut diharapkan bukan menjadi sekedar pusat halal di Malaysia. Mereka juga bangga jika nantinya bisa memahami kebutuhan para investor dan pebisnis. Konsep halal park tersebut nantinya akan menyediakan sistem pengembangan, fasilitas bersama, laboratorium, gudang, dan networking di bidang infrastruktur yang akan menghubungkan ke pasar global.

Disamping itu letaknya yang dekat dengan pelabuhan dan bandar udara, memudahkan area ini untuk diakses oleh supplier lokal maupun macanegara. Diperkirakan fasilitas ini akan segera secara efektif segera digunakan. Selengkapnya...

Senin, 26 Juli 2010

Cinta Bagiku

cinta bagikucinta bagiku adalah untuk berbagi kehidupan bersama
untuk membangun rencana antara aku juga dia
bekerja berdampingan
dan kemudian tersenyum dengan bangga
sebagai satu per satu, impian semua menjadi kenyataan.

cinta bagiku adalah membantu dan mendorong
dengan senyum dan kata-kata pujian tulus
meluangkan waktu untuk berbagi
untuk mendengarkan dan untuk meluangkan..

seharusnya kita belajar penuh arti
berbagi dan peduli
dan memiliki semua impian tuk menjadi kenyataan
cinta......bila kau mengerti...

wied el ikhro Selengkapnya...

Suram Memang.....

suram memangAnggap saja semua tak pernah ada..
Anggap saja terbangun dari mimpi indah..
Dan sekarang, saatnya kembali berteman dengan realita..

Suram memang, tapi tetap harus dijalani bukan?
Walau harus selamanya memasang senyum palsu yang bahkan tidak lagi meyakinkan itu..
Walau harus menutup telinga rapat rapat agar tak perlu mendengar suara memekakan yang entah datang dari rongga hati yang mana..

Sungguh gelap disana..
Ku tak mampu lagi melihat ke dalamnya..
Tapi sudahlah..
Ku kan kunci rapat saja pintunya..

Tak kan ku perdulikan mereka yang pernah singgah kesana..
Karena mereka semua sungguh menyebalkan!
Tapi sudahlah...
Tak ada guna menoleh ke belakang! Selengkapnya...

Cinta Merindu

cinta merinduTidak ada di dunia ini yang lebih sengsara daripada seorang pencinta…
Meskipun ia merasakan manisnya cinta…
Kamu lihat dia menangis di setiap waktu…
Karena takut berpisah atau karena rindu…

Ia menangis karena rindu akan jauhnya sang kekasih…
Namun, bila kekasihnya dekat…
Ia menangis karena takut berpisah…
Matanya selalu menghangat ketika terjadi perpisahan…

Matanya pun berkaca-kaca ketika pertemuan itu tiba…
Pelakunya memang merasakan kenikmatan…
Namun, sebenarnya…
Kasmaran itu merupakan siksa yang paling besar di hati…

Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Selengkapnya...

Sepenggal Kisah Nyata

kisah nyataNgaji udah...baca kitab mahir...bahasa arob fasih..tampang hemmm aliim jenggotan gak musbil..ada bekas sujud didahinya.....begitulah kira kira tampang seorang secara dhohir bagi seorang ngajiwan..namun siapa sangka bahwa masyarakat awwam akan menilai seseorang itu baik akhlaknya dari tampang..tatkala masalah yang banyak dilalaikan namun akan mampu membuat hati manusia luluh..setipisnya orng beriman tidak akan ada yang mengingkari bahwa sosok Nabi muhammad sholallahu 'alaihiwassalam adalah seorang yg santun..berwibawa ramah dan berbagai kelebihan yang dimilikinya...sehingga masyarakat awwam yg kita harapkan taubatnya akan menilai bahwa ohw anak ini udah ngaji tapi perilakunya gak seperti nabi..ohw apa kalo sudah ngaji jadi gak ramah lagi..ohw apa kalo sudah ngaji dilarang menyapa ornag yang belum ngaji..ohw ini kelompok yang suka ngaji hanya akan menyapa kelompoknya..dan beragam ohw ohw yang muncul...

Nah dalam kesempatan ini saya akan mengungkapakan seculi cerita yang sejatinya aku berharap semoga Allah yang maha pengasih dan maha penyang melindungiku dari sikap sombong serta kejelekan yg lain dan aku berharap ini bisa menjadi sebuah amalan dan kisah yang bisa diambil hikmah untuk saudara seiman...
dari kisah ini sengaja aku mengungkapkan sebuah keluhan salah seorang pengurus sebuah masjid yang setahuku bisa dibilang masjid paling makmur dijogjakarta..subhanallah bayangkan saja..hari hari sholat lima waktu jamaahnya lebih dari 200 jama'ah..bahkan klo magrib isya' bisa mencapai hampir 500san..temenku ''yoebal'' pernah menghitung satu shof diisi 40-50an jamaa'ah...padahal kadang sampai 9shof..belum lagi agenda kajian yang sangat padat..hemmm subhanallah..masjid lautan pahala dan ilmu..sampai sampai sesepuh masjid bilang..''masjid ini manjadi masjid yng paling direbutkan dari berbagai kalangan ngajiwan dan para pendakwah krn saking strategis dan ramainya jama'ah...semoga Allah memberikan barokah terhadap mesjid ini..Dan yang perlu pembaca fahami adalah..dari kisah ini aku tak bermaksud memojokan apalagi menjelekan..ini barangkali sebuah kisah dimana bisa dijadikan contoh kasus yang sering terjadi dimana saja tatkala ikhwah berada...

kisah ini berawal ketika ustad firanda andirja LC mengisi kajian yng diselenggarakan panitia..
sesaat stelah beliau memberikan tausyiah...kami berkumpul diserambi masjid..sambil ditemani seorang panitia dan dua orang sesepuh takmir masjid tersebut..subhanallah sesepuh yang ternyata mantan pemain teater dan telah bertaubat itu sangat antusias terhadap dien ini..dengan tak henti hentinya beliau bertanya dan bercerita kepada ustad firanda sambil mempersilahkanku menikmati hidangan yang disediakan..hingga bapak itu mengungkapkan uneg uneg yang selama ini membuat dirinya juga rata rata sesepuh masjid dan masyarakat sekitar mengeluhkan perilaku sekelompok ngajiwan yang menjadi penghuni masjid tersebut..keluhan itu mungkin akan tampak dianggap sebuah pekerjaan sepele namun siapa sangka bahwa hal itu bisa menjadi patokan baik dan tidaknya akhlak seseoarang terutama kalangan ngajiwan...bapak tersebut menceritakan bahwa sudah sejak lama mendambakan kehidupan masyarakat yang baik..santun ramah..bantu membantu..asah asih asuh dan seabreg kebaikan..''begitulah ungkapan beliau''..namun ternyata pandangan beliau yang hal itu juga dianggap mewakili masyarakat sekitar dan masyarat dimana saja pada umumnya cukup menjadi wakil keluhan yang sama.seseoarng yang telah mengaji yang aktif kemasjid, berbaju koko, berjenggot, jidat berbekas hitam, celananya cingkrang..dan pendukung tampang alim lainya rata rata buanyak yang bisanya menolong diri sendiri dan tak mempedulikan orang lain yang tidak sekelompok denganya. bapak tersebut mengungkapkan kepada ustad firanda bahwa anak muda sekarang kurang trapsilo..(gak punya tat krama) bayangkan saja ustad..ada orang tua dusuk dipinggir jalan tidak pernah disapa..ada seorang ngajiwan berpapasan dengan orang awwam didiamkan..ada orang yang lebih tua dicuekin..dan berbagai sikap yang tak sepantasnya ada pada seoarang ngajiwan...ustadz saya membayangkan bahwa sosok nabi itu ramah..sopan..santun tau trapsilo terhadap orang yg lebih tua..dsb..bahkan kalo gak salah ada hadistnya ya ustad.?? .sambil mengingat ingat bunyinya bapak tersebut mengungkapkan bahwa menghormati orang tua ada tuntunanya...gimana kalo begitu ustad..mbok yo o..ustad menasehati mereka agar seperti hadisnya gimana ustad..??agar orang awwam mau empati terhadap seorang ngajiwan..masak kalah sama misionaris dan yang tak tau agama...ramah..enteng tenaga...darmawan..dsb...s
telah selesai bapak itu diam mendengarkan hadits ang dimaksud oleh ustadz firanda..yaitu sabda nabi ''tidak termasuk golonganku seseorang yang tidak menghormati yang lebih tua''

Mangut mangutlah bapak itu..hingga ustad firanda menasehatkan juga buat saya juga panitia supaya mbok ayo kita bersama saling nasehat menasehati ikhwah semua bahkan ustadnya untuk lebih berusaha mengamalkan sunnah sunnah yng paling tidak bisa menjadi lahan dakwah yang tampak dimasyarakat..jangan sampai predikat ''JENGGOTAN TAPI TAK BERTATAKRAMA '' malah menjadi tren dikalangan ngajiwan..dalam hatikupun membenarkan kasus yang dialami lingkungan masyarakat masjid tersebut..kadang akau berfikir..ini yang salah siapa..?? kita udah ngaji bukanya tambah sopan eh malah tambah angkuh..kereng..sangar..apalgi ditambah tampangnya jenggotan..wuah seoalah dipandang sebagai makhluk lain..yang bukan kelompoku nggak aku sapa...yang bukan kelompok ngajiku nggak aku ucapin salam dsb....kisah ini aku yakin banyak ditemui dimana saja kalangan ngajiwan berada..baik itu pondok maupun bukan..dimana ada ikhwan disitu ada masalah..mungkin itu fenomena yang ada dimasyarakat..satu hal lagi saudaraku..saat ini okelah kita bisa nyaman dengan pola tata krama yg ditinggalkan..tp satu yang harud diingat bawa..''mahasiswa akan kembali kepada kehidupan yang nyata baik dikampungnya maupun dilingkungan barunya.bukan lagi lingkungan yang ngaji semua..bukan lagi lingkungan yang faham semua..disitu akan kita temui bid'ah seabreg abreg menghadang langkah kita. klo kita tidak belajar dari sekarang..lantas bagaimana nantinya..apakah kita akan betah hidup tanpa tetangga..dsb..saudaraku akhir dari cerita ini pada akhirnya bapak tersebut manggut manggut sebagai pertanda bahwa ohw sebenarnya islam itu sangat baik..hanya orng orangnya yang perlu diperbaiki...subhanallah..dari perbincangan itu aku berharap semoga Allah memberikan kemudahan pada kami untuk lebih memperhatikan hal hal yang akan menjadi sarana dakwah buat masyarakat.....kisah ini telah aku ungkapkan dengan bahasa tulisan untuk lebih memudahkan difahami..semoga Allah memaafkanku..

jogjakarta..weid el-ikhro Selengkapnya...